PERKEMBANGAN
TEKNOLOGI PADA ZAMAN PRA-AKSARA
Masyarakat
pra aksara memang belum mengenal tulisan, tetapi telah mengembangkan kebudayaan
dan teknologi walaupun dalam bentuk yang sederhana. Teknologi waktu itu bermula
dari teknologi bebatuan yang digunakan sebagai alat untuk memenuhi kebutuhan.
Dalam praktiknya peralatan atau teknologi bebatuan tersebut dapat berfungsi
serba guna. Pada tahap paling awal alat yang digunakan masih bersifat kebetulan
dan seadanya serta bersifat trial dan eror. Teknologi bebatuan pada zaman ini
berkembang dalam kurun waktu yang begitu panjang. Teknologi tersebut dapat
membantu meringankan pekerjaan dan memenuhi kebutuhan, misalnya penggunaan batu
yang diruncingkan untuk menggali tanah, memotong daging binatang buruan dan
untuk keperluan lainnya.

1.1 cobek, peralatan dari batu yang masih
digunakan sampai sekarang
Coba amati gambar di atas! Gambar
apa dan untuk apa kira-kira? Gambar itu merupakan gambar peralatan rumah tangga
yang sudah sangat lama dikenal di lingkungan ibu rumah tangga di Indonesia,
apalagi di Jawa. Yang jelas peralatan itu terbuat dari batu yang merupakan
warisan nenek moyang. Peralatan dari batu ini sampai sekarang masih digunakan
oleh masyarakat kita Berikut ini kita akan membahas tentang teknologi bebatuan
yang telah dikembangkan sejak kehidupan manusia purba.
1. Pembagian Zaman
Pra-aksara Berdasarkan Hasil Kebudayaanya

Berdasarkan analisis hasil
kebudayaan yang ditinggalkan kehidupan zaman pra-aksara dibedakan menjadi 2 :
yaitu zaman batu dan zaman logam. Pembagian zaman tersebut tidak menggunakan
batasan-batasan waktu yang jelas untuk tiap-tiap zaman. Mungkin sekali zaman
itu berlangsung bersamaan karena pengelompokan zaman tersebut berdasarkan benda
–benda yang ditemukan, misalnya zaman Batu dan zaman logam :
1.1.
Zaman Batu
Pada
zaman batu semua peralatan manusia dibuat dari batu.
Zaman Batu adalah masa zaman praaksara yang luas, ketika
manusia menciptakan alat dari batu (karena tak memiliki teknologi yang
lebih baik). Kayu, tulang, dan bahan lain juga digunakan, tetapi batu (terutama flint) dibentuk untuk
dimanfaatkan sebagai alat memotong dan senjata. Istilah ini berasal sistem
tiga zaman. Zaman Batu sekarang dipilah lagi
menjadi masa Paleolitikum,Mesolitikum,Megalitikum dan Neolitikum, yang
masing-masing dipilah-pilah lagi lebih jauh.
1.1.1.
Zaman
Batu Tua (Paleolitikum)
Paleolitikum terdiri dari dua kata yaitu kata paleos yang mempunyai arti
batu dan kata litikum yang berasal dari kata litos yang mempunyai arti tua,
Maka biasa juga zaman paleolitikum disebut dengan zaman batu tua.
Zaman batu adalah suatu periode ketika peralatan manusia secara
dominan terbut dari batu walaupun ada pula alat-alat penunjang hidup manusia
yang terbuat dari kayu ataupun bambu. Namun alat-alat yang terbuat dari kayu
atau tulang tersebut tidak meninggalkan bekas sama sekali. Hal ini disebabkan
karena bahan-bahan tersebut tidak tahan lama. Dalam zaman ini alat-alat yang
dihasilkan masih sangat kasar (sederhana) karena hanya sekadar memenuhi
kebutuhan hidup saja. Zaman batu tua diperkirakan berlangsung kira-kira 600.000
tahun yang lalu, yaitu selama masa pleistosen (diluvium). Pada zaman
paleolithikum ini, alat-alat yang mereka hasilkan masih sangat kasar.
Paleolitikum atau zaman batu tua disebut demikian sebab
alat-alat batu buatan manusia masih dikerjakan secara kasar, tidak diasah atau
dipolis. Apabila dilihat dari sudut mata pencariannya periode ini disebut masa
berburu dan meramu makanan tingkat sederhana. Manusia pendukung zaman ini
adalah Pithecantropus Erectus, Homo Wajakensis, Meganthropus Paleojavanicus dan
Homo Soloensis. Fosil-fosil ini ditemukan di sepanjang aliran sungai Bengawan
Solo. Mereka memiliki kebudayaan Pacitan dan Ngandong. Kebudayaan Pacitan pada
tahun 1935, Von Koenigswald menemukan alat-alat batu dan kapak genggam di
daerah Pacitan. Cara kerjanya digenggam dengan tangan. Kapak ini dikerjaan dengan
cara masih sangat kasar. Para ahli menyebut alat pada zaman Paleolithikum
dengan nama chopper. Alat ini ditemukan di Lapisan Trinil. Selain di Pacitan,
alat-alat dari zaman Paleplithikum ini temukan di daerah Progo dan Gombong
(Jawa Tengah), Sukabumi (Jawa Barat), dan Lahat (Sumatera Selatan).
Ø CIRI-CIRI ZAMAN PALEOLITHIKUM
1.
Jenis Manusia
Berdasarkan penemuan fosil manusia purba, jenis
manusia purba hidup pada zaman Paleolitikum adalah Pithecanthropus Erectus,
Homo Wajakensis, Meganthropus paleojavanicus, dan Homo Soliensis. Fosil ini
ditemukan di aliran sungai Bengawan Solo.
2.
Kebudayaan
Berdasarkan daerah penemuannya maka alat-alat
kebudayaan Paleolithikum tersebut dapat dikelompokan menjadi kebudayaan pacitan
dan kebudayaan ngandong.
a.
Kebudayaan
Pacitan
Pada tahun 1935, von Koenigswald menemukan alat batu
dan kapak genggam di daerah Pacitan. Kapak genggam itu berbentuk kapak tetapi
tidak bertangkai. Kapak ini masih dikerjakan dengan sangat kasar dan belum
dihaluskan. Para ahli menyebutkan bahwa kapak itu adalah kapak penetak. Selain
di Pacitan alat-alat banyak ditemukan di Progo dan Gombong (Jawa Tengah),
Sukabumi (Jawa Barat), dan Lahat (Sumatera Utara)
b.
Kebudayaan
Ngandong
Para ahli berhasil menemukan alat-alat dari tulang,
flakes, alat penusuk dari tanduk rusa dan ujung tombak bergigi di daerah
Ngandong dan Sidoarjo. Selain itu di dekat Sangiran ditemukan alat sangat kecil
dari betuan yang amat indah. Alat ini dinamakan Serbih Pilah, dan banyak
ditemukan di Cabbenge (Sulawesi Selatan) yang terbuat dari batu-batu indah
seperti kalsedon. Kebudayaan Ngandong juga didukung oleh penemuan lukisan pada
dinding goa seperti lukisan tapak tangan berwarna merah dan babi hutan
ditemukan di Goa Leang Pattae (Sulawesi Selatan)
3. ciri-ciri
kehidupan masyarakat di zaman paleolitikum
- Hidupnya
nomaden atau selalu berpindah-pindah tempat.
- Hidup
dalam kelompok-kelompok kecil agar memudahkan mereka bergerak dalam
mencari makanan.
- Hidupnya
sangat tergantung pada alam sekitar mereka.
- Masih
menggunakan alat-alat yang sangat sederhana untuk mendukung kegiatan
mereka mencari makan. Alat yang dibuat masih dalam bentuk yang sangat
kasar, contohnya kapak genggam yang berfungsi untuk memotong, menggali dan
menguliti binatang.
- Masih
menggunakan bahasa yang sederhana untuk berkomunikasi
- Berburu (Food Gathering)
- Menangkap ikan
Ø
ALAT-ALAT ZAMAN PALEOLITHIKUM
Pada zaman ini alat-alat terbuat dari batu yang masih kasar dan belum
dihaluskan. Contoh alat-alat tersebut adalah:
1. Kapak Genggam
1. Kapak Genggam
![[Flakes1-273x224.jpg]](file:///C:/Users/LENOVO/AppData/Local/Temp/msohtmlclip1/01/clip_image006.jpg)
1.2.
Kapak genggam
Kapak genggam banyak ditemukan di daerah Pacitan. Alat
ini biasanya disebut "chopper" (alat penetak/pemotong)
Yang ditemukan oleh Von Koenigswald pada 1935 di Pacitan
yang diberi nama kapak genggam. Alat tersebut serupa dengan kapak, tetapi tidak
bertangkai, cara mempergunakannya dengan cara mengenggam. Kapak genggam
terkenal juga dengan sebutan kapak perimbas, atau dalam ilmu prasejarah disebut
dengan chopper yang artinya alat penetak.
Pembuatan kapak genggam dilakukan dengan cara memangkas
salah satu sisi batu sampai menajam dan sisi lainnya dibiarkan apa adanya
sebagai tempat menggenggam. Daerah penemuan kapak perimbas atau kapak genggam
selain di Pacitan Jawa Timur juga ditemukan di daerah-daerah lain, seperti
Jampang Kulon, Parigi Jawa Timur, Tambang Sawah, Lahat, dan Kalianda Sumatra,
Awang Bangkal Kalimantan, Cabenge Sulawesi, Sembiran dan Terunyan Bali.
Alat ini dinamakan kapak genggam karena alat tersebut
serupa dengan kapak, tetapi tidak bertangkai dan cara mempergunakannya dengan cara menggenggam. Pembuatan kapak genggam dilakukan
dengan cara memangkas salah satu sisi batu sampai menajam dan sisi lainnya
dibiarkan apa adanyasebagai tempat menggenggam. Kapak genggam berfungsi
menggali umbi, memotong, dan menguliti binatang.
2. Kapak Perimbas

1.3.
Kapak perimbas
Kapak perimbas berfungsi untuk
merimbas kayu, memahat tulang dan sebagai senjata. Manusia kebudayan Pacitan
adalah jenis Pithecanthropus. Alat ini juga ditemukan di Gombong (Jawa Tengah),
Sukabumi (Jawa Barat), lahat, (Sumatra selatan), dan Goa Choukoutieen (Beijing).
Alat ini paling banyak ditemukan di daerah Pacitan, Jawa Tengah sehingga oleh
Ralp Von Koenigswald disebut kebudayan pacitan
3.Alat-alat dari tulang binatang atau tanduk rusa

1.4.
tulang kaki rusa
Salah satu alat peninggalan zaman paleolithikum yaitu
alat dari tulang binatang. Alat-alat dari tulang ini termasuk hasil kebudayaan
Ngandong. Kebanyakan alat dari tulang ini berupa alat penusuk (belati) dan
ujung tombak bergerigi. Fungsi dari alat ini adalah untuk mengorek ubi dan
keladi dari dalam tanah. Selain itu alat ini juga biasa digunakan sebagai alat
untuk menangkap ikan
4. Flakes
Di daerah Ngandong juga ditemukan alat-alat lain berupa
alat-alat kecil terbuat dari batu yang disebut dengan flakes atau alat serpih.
Flakes terbuat dari batu biasa dan ada juga yang dibuat dari batu-batu indah
berwarna seperti chalcedon.
Alat yang bernama flakes mempunyai fungsi sebagai alat
untuk menguliti hewan buruannya, mengiris daging atau memotong umbi-umbian.
Fungsinya seperti pisau pada masa sekarang. Flakes ditemukan di daerah-daerah
seperti Sangiran, Pacitan, Gombong, Parigi, Jampang Kulon, Ngandong, Mangeruda
Flores, Cabbenge Sulawesi, Wangka, Soa, Lahat Sumatra, dan Batturing Sumbawa.
Temuan arkeologis pada zaman Paleolithikum didukung oleh
temuan manusia purba sebagai berikut.::
1.
Meganthropus Palaeojavanicus, manusia purba ini dianggap
sebagai manusia tertua yang hidup di Jawa kira-kira 2-1 juta tahun yang lalu.
Rahangnya mirip kera diperkirakan terus berevolusi. Fosil manusia yang memiliki
rahang besar ini ditemukan pada 1941 di Desa Sangiran, lembah Sungai Bengawan
Solo oleh Von Koenigswald.
2.
Pithecanthropus Robustus dan Pithecanthropus Mojokertensis
ditemukan 1936 di lembah Kali Berantas oleh Von Koenigswald.
3.
Pithecanthropus Erectus ditemukan 1890 di Desa Trinil,
lembah Bengawan Solo oleh E. Dubois.
4.
Homo Soloensis dan Homo Wajakensis ditemukan antara
1931-1934 di Solo dan Wajak.
1.1.2.
Zaman
Batu Madya (Mesolithikum)
Mesolithikum berasal dari kata Meso yang artinya tengah dan
Lithos yang artinya batu sehingga zaman ini dapat disebut zaman batu
tengah.
Ciri kebudayaan Mesolithikum tidak jauh berbeda dengan
kebudayaan Palaeolithikum. Namun pada masa Mesolithikum, manusia yang hidup
sudah ada yang menetap sehingga kebudayaan Mesolithikum sangat menonjol dan
sekaligus menjadi ciri dari zaman ini yang disebut dengan kebudayaan
Kjokkenmoddinger dan Abris sous Roche.
Zaman batu madya atau batu tengah berlangsung pada kala
holosen. Perkembangan kebudayaan pada zaman batu madya berlangsung lebih cepat
daripada zaman batu tua. Karena pendukung kebudayaan ini adalah Homo sapiens
(manusia cerdas) dan keadaan alam pada zaman batu madya tidak seliar pada zaman
batu tua. Sehingga dalam waktu lebih kurang 20.000 tahun manusia telah mencapai
tingkat kebudayaan yang lebih tinggi dari apa yang telah dicapai pada zaman
paleolitikum.
Alat batu yang digunakan pada zaman batu tua masih digunakan
pada zaman batu madya, bahkan dikembangkan. Pengembangan tersebut mendapat
pengaruh kebudayaan dari daratan Asia, sehingga memunculkan corak tersendiri.
Alat-alat dari tulang yang digunakan pada zaman tua memegang peranan penting
pada zaman batu madya. Manusia pada zaman batu mesolitikum ini telah mampu
membuat gerabah, yaitu benda pecah belah yang dibuat dari tanah liat dan
dibakar.
Perkembangan kebudayaan pada zaman ini berlangsung
lebih cepat dari masa sebelumnya. Hal ini di sebabkan antara lain.
1.
Keadaan alam
yang sudah lebih stabil, yang memungkinkan manusia dapat hidup lebih tenang,
sehingga dapat mengembangkan kebudayaannya.
2.
Manusia
pendukungnya adalah dari jenis Homo sapien, mahluk yang lebih cerdas di
bandingkan pendahulunya.
Mesolitikum secara bahasa dapat
diartikan sebagai batu tengah, merupakan tahapan perkembangan masyarakat masa
pra sejarah antara batu tua dan batu muda. Tidak jauh berbeda dengan peride
sebelumnya, kehidupan berburu atau mengumpulkan makanan. Namun manusia pada
masa itu juga mulai mempunyai tempat tinggal agak tetap dan bercocok tanam
secara sederhana. Tempat tinggal yang mereka pilih umumnya berlokasi di tepi
pantai (kjokkenmoddinger) dan
goa-goa (abris sous roche)
sehingga di lokasi-lokasi tersebut banyak ditemukan berkas-berkas kebudayaan
manusia pada zaman itu.
Pada zaman ini manusia telah mampu
membuat gerabah yang di buat dari tanah liat, selain kapak genggam Sumatra (Sumatralith pebble culture), alat
tulang yang di temukan di Sampung (bone
culture), dan sejumlah flakes yang di temukan di Toala (flakes culture). Kehidupan manusia
semi-sedenter, banyak dari manusia purba yang tinggal di gua-gua di tebing
pantai, yang dinamakan dengan abris
sous roche, dimana banyak ditemukan tumpukan sampah dapur yang di sebut
dengan kjokkenmoddinger.
1.
Ciri
zaman Mesolithikum:
·
Nomaden dan masih melakukan food gathering (mengumpulkan makanan)
·
Alat-alat yang dihasilkan nyaris sama dengan zaman palaeolithikum yakni
masih merupakan alat-alat batu kasar.
·
Ditemukannya bukit-bukit kerang di pinggir pantai yang disebut Kjoken Mondinger
(sampah dapur)
·
Alat-alat kebudayaan Mesolithikum yang ditemukan di gua Lawa Sampung,
Jawa Timur yang disebut Abris Sous Roche antara lain: Flakes (Alat
serpih),ujung mata panah, pipisan, kapak persegi dan alat-alat dari tulang.
·
Alat-alat zaman mesolithikum antara lain: Kapak genggam (Pebble), Kapak
pendek (hache Courte) Pipisan (batu-batu penggiling) dan kapak-kapak dari batu
kali yang dibelah.
·
Alat-alat diatas banyak ditemukan di daerah Sumatera, Jawa, Kalimantan,
Sulawesi, Flores.
2.
Tiga
bagian penting kebudayaan Mesolithikum:
·
Pebble-Culture (alat kebudayaan kapak genggam dari Kjoken Mondinger)
·
Bone-Culture (alat kebudayaan dari Tulang)
·
Flakes Culture (kebudayaan alat serpih dari Abris Saus Roche)
3.
Manusia pendukung kebudayaan
Mesolithikum adalah bangsa Papua–Melanosoid
Di situs Sampung, dimana di temukan
alat-alat dari tulang, arkeolog Van Stein Callenfels juga menemukan
fosil dari ras Austromelanosoid, yang di perkirakan sebagai nenek moyang suku
bangsa Papua sekarang. Hasil budaya lain yang cukup menonjol pada zaman ini
adalah lukisan gua, yang kemudian banyak di teliti oleh dua orang bersaudara Roder dan Galis terutama
lukisan gua yang ada di daerah Papua. Dari penelitian tersebut, terdapat bukti
bahwa lukisan itu di buat antara lian dengan tujuan.
- Sebagai
bagian dari ritual agama, seperti ucapan untuk menghormati nenek moyang,
upacara inisiasi, upacara memohon kesuburan, upacara meminta hujan.
- Untuk
keperluan ilmu dukun, seperti tampak pada gambar binatang yang dianggap
memiliki kekuatan magis.
- Memperingati
peristiwa penting yang terjadi di lingkungan tempat tinggal mereka.
Lukisan gua ini tersebar hampir di seluruh kepulauan
indonesia terutama di wilayah indonesia bagian timur. Hal menarik lainnya dari
penemuan ini adalah tema dan bentuk lukisan menunjukan kemiripan antara yang
satu dengan lainnya, meskipun lukisan gua tersebut diperkirakan berkembang
sekitar 40.000 tahun SM ini sudah mengenal teknik pewarnaan. Warna merah
berasal dari hematite (oksida besi atau oker merah), putih dari kaolin (kapur),
sementara warna hitam terbuat dari arang atau mangan dioksida.
Lukisan tapak tangan lainnya ditemukan juga di gua
Leang-Leang, Sulawesi Selatan, cap jari tangan warna merah disana diperkirakan
sebagai simbol kekuatan atau lambang kekuatan pelindung terhadap gangguan
roh-roh jahat, dan cap-cap tangan yang jari-jarinya tidak lengkap diperkirakan
sebagai ungkapan duka atau berkabung.
A. HASIL
KEBUDAYAAN MESOLITHIKUM
1. Kebudayaan Pebble (Pebble Culture)
1. Kebudayaan Pebble (Pebble Culture)
a.
Kjokkenmoddinger (Sampah Dapur)
Kjokkenmoddinger
adalah istilah yang berasal dari bahasa Denmark yaitu kjokken artinya dapur dan
modding artinya sampah jadi Kjokkenmoddinger arti sebenarnya adalah sampah
dapur. Dalam kenyataan Kjokkenmoddinger adalah timbunan atau tumpukan kulit
kerang dan siput yang mencapai ketinggian ± 7 meter dan sudah membatu atau
menjadi fosil.
Kjokkenmoddinger
ditemukan disepanjang pantai timur Sumatera yakni antara Langsa dan Medan. Dari
bekas-bekas penemuan tersebut menunjukkan bahwa manusia purba yang hidup pada
zaman ini sudah menetap. Tahun 1925 Dr. P.V. Van Stein Callenfels melakukan
penelitian di bukit kerang tersebut dan hasilnya banyak menemukan kapak genggam
yang ternyata berbeda dengan chopper (kapak genggam Palaeolithikum).
- Pebble (kapak genggam Sumatera = Sumateralith)

Tahun
1925, Dr. P.V. Van Stein Callenfels melakukan penelitian di bukit kerang
tersebut dan hasilnya menemukan kapak genggam. Kapak genggam yang ditemukan di
dalam bukit kerang tersebut dinamakan dengan pebble/kapak genggam Sumatra
(Sumatralith) sesuai dengan lokasi penemuannya yaitu dipulau Sumatra.
Bahan-bahan untuk membuat kapak tersebut berasal batu kali yang dipecah-pecah.
- Hachecourt
(kapak pendek)
Selain
pebble yang diketemukan dalam bukit kerang, juga ditemukan sejenis kapak tetapi
bentuknya pendek (setengah lingkaran) yang disebut dengan hachecourt/kapak
pendek.
d.
Pipisan
Selain
kapak-kapak yang ditemukan dalam bukit kerang, juga ditemukan pipisan
(batu-batu penggiling beserta landasannya). Batu pipisan selain dipergunakan
untuk menggiling makanan juga dipergunakan untuk menghaluskan cat merah. Bahan
cat merah berasal dari tanah merah. Cat merah diperkirakan digunakan untuk
keperluan religius dan untuk ilmu sihir.
2.Kebudayaan Tulang dari Sampung
(Sampung Bone Culture)
Berdasarkan alat-alat kehidupan yang
ditemukan di goa lawa di Sampung (daerah Ponorogo - Madiun Jawa Timur) tahun
1928 - 1931, ditemukan alat-alat dari batu seperti ujung panah dan flakes,
kapak yang sudah diasah, alat dari tulang, tanduk rusa, dan juga alat-alat dari
perunggu dan besi. Oleh para arkeolog bagian terbesar dari alat-alat yang
ditemukan itu adalah tulang, sehingga disebut sebagai Sampung Bone Culture.
3.Kebudayaan Flakes (Flakes Culture)
a. Abris Sous Roche (Gua tempat tinggal)
Abris
Sous Roche adalah goa-goa yang yang dijadikan tempat tinggal manusia purba pada
zaman Mesolithikum dan berfungsi sebagai tempat perlindungan dari cuaca dan
binatang buas. Penyelidikan pertama pada Abris Sous Roche dilakukan oleh Dr.
Van Stein Callenfels tahun 1928-1931 di goa Lawa dekat Sampung Ponorogo Jawa
Timur. Alat-alat yang ditemukan pada goa tersebut antara lain alat-alat dari
batu seperti ujung panah, flakes, batu pipisan, kapak yang sudah diasah yang
berasal dari zaman Mesolithikum, serta alat-alat dari tulang dan tanduk rusa.Di
antara alat-alat kehidupan yang ditemukan ternyata yang paling banyak adalah
alat dari tulang sehingga oleh para arkeolog disebut sebagai Sampung Bone
Culture / kebudayaan tulang dari Sampung. Karena goa di Sampung tidak ditemukan
Pebble ataupun kapak pendek yang merupakan inti dari kebudayaan Mesolithikum.
Selain di Sampung, Abris Sous Roche juga ditemukan di daerah Besuki dan
Bojonegoro Jawa Timur. Penelitian terhadap goa di Besuki dan Bojonegoro ini
dilakukan oleh Van Heekeren. Di Sulawesi Selatan juga banyak ditemukan Abris
Sous Roche terutama di daerah Lomoncong yaitu goa Leang Patae yang di dalamnya
ditemukan flakes, ujung mata panah yang sisi-sisinya bergerigi dan pebble. Di
goa tersebut didiami oleh suku Toala, sehingga oleh tokoh peneliti Fritz
Sarasin dan Paul Sarasin, suku Toala yang sampai sekarang masih ada dianggap
sebagai keturunan langsung penduduk Sulawesi Selatan zaman prasejarah. Untuk
itu kebudayaan Abris Sous Roche di Lomoncong disebut kebudayaan Toala.
Kebudayaan Toala tersebut merupakan kebudayaan Mesolithikum yang berlangsung
sekitar tahun 3000 sampai 1000 SM. Selain di Jawa Timur dan Sulawesi Selatan,
Abris Sous Roche juga ditemukan di daerah Timor dan Rote. Penelitian terhadap
goa tersebut dilakukan oleh Alfred Buhler yang di dalamnya ditemukan flakes dan
ujung mata panah yang terbuat dari batu indah.
b. KEBUDAYAAN BACSON-HOABINH
Kebudayaan ini ditemukan dalam
gua-gua dan dalam bukit-bukit kerang di Indo-China, Siam, Malaka, dan Sumatera
Timur. Alat-alat kebudayaannya terbuat dari batu kali, seperti bahewa batu
giling. Pada kebudayaan ini perhatian terhadap orang meninggal dikubur di gua
dan juga di bukit-bukit kerang. Beberapa mayatnya diposisikan dengan berjongkok
dan diberi cat warna merah. Pemberian cat warna merah bertujuan agar dapat
mengembalikan hayat kepada mereka yang masih hidup. Di Indonesia, kebudayaan
ini ditemukan di bukit-bukit kerang. Hal seperti ini banyak ditemukan dari
Medan sampai ke pedalaman Aceh. Bukit-bukit itu telah bergeser sejauh 5 km dari
garis pantai menunjukkan bahwa dulu pernah terjadi pengangkatan lapisan-lapisan
bumi. Alur masuknya kebudayaan ini sampai ke Sumatera melewati Malaka. Di
Indonesia ada dua kebudayaan Bacson-Hoabinh, yakni:
- Kebudayaan pebble dan alat-alat dari tulang
yang datang ke Indonesia melalui jalur barat.
- Kebudayaan flakes yang datang ke Indonesia
melalui jalur timur.
Dengan adanya keberadaan manusia
jenis Papua Melanosoide di Indonesia sebagai pendukung kebudayaan Mesolithikum,
maka para arkeolog melakukan penelitian terhadap penyebaran pebble dan kapak
pendek sampai ke daerah teluk Tonkin daerah asal bangsa Papua Melanosoide. Dari
hasil penyelidikan tersebut, maka ditemukan pusat pebble dan kapak pendek
berasal dari pegunungan Bacson dan daerah Hoabinh, di Asia Tenggara. Tetapi di
daerah tersebut tidak ditemukan flakes, sedangkan di dalam Abris Sous Roche
banyak ditemukan flakes bahkan di pulau Luzon (Filipina) juga ditemukan flakes.
Ada kemungkinan kebudayaan flakes berasal dari daratan Asia, masuk ke Indonesia
melalui Jepang, Formosa dan Filipina.
C. KEBUDAYAAN TOALA
Kebudayaan Toala dan yang serumpun
dengan itu disebut juga kebudayaan flake dan blade. Alat-alatnya terbuat dari
batu-batu yang menyerupai batu api dari eropa, seperti chalcedon, jaspis,
obsidian dan kapur. Perlakuan terhadap orang yang meninggal dikuburkan didalam
gua dan bila tulang belulangnya telah mengering akan diberikan kepada
keluarganya sebagai kenang-kenangan. Biasanya kaum perempuan akan menjadikan
tulang belulang tersebut sebagai kalung. Selain itu, didalam gua terdapat lukisan
mengenai perburuan babi dan juga rentangan lima jari yang dilumuri cat merah
yang disebut dengan “silhoutte”. Arti warna merah tanda berkabung. Kebudayaan
ini ditemukan di Jawa (Bandung, Besuki, dan Tuban), Sumatera (danau Kerinci dan
Jambi), Nusa Tenggara di pulau Flores dan Timor.
Manusia
pendukung Manusia pendukung kebudayaan mesolitikum adalah manusia dari ras
Papua Melanesoid. Hal ini dapat dibuktikan dengan ditemukannya fosil-fosil
manusia ras Papua Melanesoid, baik pada kebudayaan Sampung maupun di bukit
kerang di Sumatra. Adapun pendukung kebudayaan Toala menurut Sarasin
diperkirakan nenek moyang suku Toala sekarang yang juga merupakan keturunan
bangsa Wedda dari Sri Lanka. Kehidupan sosial Sebagian manusia pendukung
kebudayaan mesolitikum masih tetap berburu dan mengumpulkan makanan, tetapi
sebagian besar dari mereka sudah mempunyai tempat tinggal tetap di gua-gua dan
bercocok tanam secara sederhana. Ada pula pendukung kebudayaan batu madya yang
hidup di pesisir pantai. Mereka hidup dengan menangkap ikan, siput dan kerang.
Mereka bercocok tanam secara sederhana dan masih berpindah-pindah sesuai dengan
keadaan kesuburan tanah. Tanaman yang mereka tanam semacam umbi-umbian. Pada
masa itu, manusia purba sudah berusaha menjinakkan binatang. Hal ini dibuktikan
dengan penemuan fosil anjing di Gua Cokondo, Sulawesi Selatan. Seni lukis
Pendukung kebudayaan mesolitikum melakukan kegiatan menggambar pada
dinding-dinding gua ketika mereka mulai hidup menetap di gua. Pada tahun 1950
Van Heekem melakukan penelitian pertama kali lukisan pada dinding gua di Leang
Patta E, Sulawesi Selatan. Pada gua tersebut terdapat gambar cap-cap tangan
dengan latar belakang cat merah dan gambar seekor rusa yang sedang melompat
dengan panah di bagian jantungnya. Pada tahun 1977, Kosasih S.A. menemukan
lukisan gua di Pulau Muna, Sulawesi Tenggara. Di gua tersebut ditemukan
bermacam-macam lukisan seperti manusia dengan berbagai sikap, kuda, rusa,
buaya, dan anjing. Pada tahun 1937 J. Roder menemukan lukisan dinding gua di
Pulau Seram dan Pulau Kei. Lukisan tersebut di antaranya cap-cap tangan, gambar
kadal, manusia, rusa burung, perahu, matahari, mata, dan gambar-gambar
geometrik. Kepercayaan Masyarakat pendukung zaman mesolitikum di Indonesia
sudah mengenal kepercayaan dan penguburan mayat. Lukisan manusia di Pulau Seram
dan Papua merupakan contoh gambar nenek moyang yang dianggap memiliki kekuatan
magis sebagai penolak roh jahat. Bukti adanya penguburan dari zaman mesolitikum
ditemukan di Gua Lawa (Sampung) dan kjokkenmoddinger. Mayat yang dikubur
tersebut dibekali dengan bermacam-macam keperluan sehari-hari seperti
kapak-kapak yang indah dan perhiasan. Ada juga mayat yang ditaburi dengan cat
merah dalam suatu upacara penguburan dengan maksud memberikan kehidupan baru di
alam baka.
1.1.3.
Zaman Batu Muda (Neolithikum)
Ada dikatakan bahwa
neolithikum itu adalah suatu revolusi yang sangat besar dalam peradaban
manusia. Perubahan besar ini ditandai dengan berubahnya peradaban penghidupan
food-gathering menjadi foodproducing. Pada saat orang sudah mengenal bercocok
tanam dan berternak. Pertanian yang mereka selenggarakan mula-mula bersifat
primitif dan hanya dilakukan di tanah-tanah kering saja. Pohon-pohon dari
beberapa bagian hutan di kelupak kulitnya dan kemudian dibakar. Tanah-tanah
yang baru dibuka untuk pertanian semacam itu untuk beberapa kali berturut-turut
ditanami dan sesudah itu ditinggalkan.
Orang-orang Indonesia zaman
neolithikum membentuk masyarakat-masyarakat dengan pondok-pondok mereka
berbentuk persegi siku-siku dan didirikan atas tiang-tiang kayu,
dinding-dindingnya diberi hiasan dekoratif yang indah-indah, Walaupun alat-alat
mereka masih dibuat daripada batu, tetapi alat-alat itu dibuat dengan halus,
bahkan juga sudah dipoles pada kedua belah mukanya.
A. CARA HIDUP
Cara hidup zaman neolithikum membawa perubahan-perubahan besar, karena pada zaman itu manusia mulai hidup berkelompok kemudian menetap dan tinggal bersama dalam kampung. Berarti pembentukan suatu masyarakat yang memerlukan segala peraturan kerja sama. Pembagian kerja memungkinkan perkembangan berbagai macam dan cara penghidupan di dalam ikatan kerjasama itu. Dapat dikatakan pada zaman neolithikum itu terdapat dasar-dasar pertama untuk penghidupan manusia sebagai manusia, sebagaimana kita dapatkan sekarang.
B. ALAT-ALAT ZAMAN NEOLITHIKUM
Pada zaman neolithikum ini alat-alat terbuat dari batu yang sudah dihaluskan.
1. Pahat Segi Panjang
Pada zaman neolithikum ini alat-alat terbuat dari batu yang sudah dihaluskan.
1. Pahat Segi Panjang
Daerah asal kebudayaan pahat segi panjang ini meliputi Tiongkok Tengah dan Selatan, daerah Hindia Belakang sampai ke daerah sungai gangga di India, selanjutnya sebagian besar dari Indonesia, kepulauan Philipina, Formosa, kepulauan Kuril dan Jepang.
2. Kapak Persegi
Asal-usul
penyebaran kapak persegi melalui suatu migrasi bangsa Asia ke Indonesia. Nama
kapak persegi diberikan oleh Van Heine Heldern atas dasar penampang lintangnya
yang berbentuk persegi panjang atau trapesium. Penampang kapak persegi tersedia
dalam berbagai ukuran, ada yang besar dan kecil. Yang ukuran besar lazim
disebut dengan beliung dan fungsinya sebagai cangkul/pacul. Sedangkan yang
ukuran kecil disebut dengan Tarah/Tatah dan fungsinya sebagai alat pahat/alat
untuk mengerjakan kayu sebagaimana lazimnya pahat.
Bahan
untuk membuat kapak tersebut selain dari batu biasa, juga dibuat dari batu
api/chalcedon. Kemungkinan besar kapak yang terbuat dari calsedon hanya
dipergunakan sebagai alat upacara keagamaan, azimat atau tanda kebesaran. Kapak
jenis ini ditemukan di daerahi Sumatera, Jawa, bali, Nusatenggara, Maluku,
Sulawesi dan Kalimantan.
3. Kapak Lonjong
Sebagian
besar kapak lonjong dibuat dari batu kali, dan warnanya kehitam-hitaman. Bentuk
keseluruhan dari kapak tersebut adalah bulat telur dengan ujungnya yang lancip
menjadi tempat tangkainya, sedangkan ujung lainnya diasah hingga tajam. Untuk
itu bentuk keseluruhan permukaan kapak lonjong sudah diasah halus.
Ukuran
yang dimiliki kapak lonjong yang besar lazim disebut dengan Walzenbeil dan yang
kecil disebut dengan Kleinbeil, sedangkan fungsi kapak lonjong sama dengan
kapak persegi. Daerah penyebaran kapak lonjong adalah Minahasa, Gerong, Seram,
Leti, Tanimbar dan Irian. Dari Irian kapak lonjong tersebar meluas sampai di
Kepulauan Melanesia, sehingga para arkeolog menyebutkan istilah lain dari kapak
lonjong dengan sebutan Neolithikum Papua.
- Kapak Bahu
Kapak
jenis ini hampir sama seperti kapak persegi, hanya saja di bagian yang
diikatkan pada tangkainya diberi leher. Sehingga menyerupai bentuk botol yang
persegi. Daerah kebudayaan kapak bahu ini meluas dari Jepang, Formosa, Filipina
terus ke barat sampai sungai Gangga. Tetapi anehnya batas selatannya adalah
bagian tengah Malaysia Barat. Dengan kata lain di sebelah Selatan batas ini
tidak ditemukan kapak bahu, jadi neolithikum Indonesia tidak mengenalnya,
meskipun juga ada beberapa buah ditemukan yaitu di Minahasa.
- Perhiasan (gelang dan kalung dari batu indah)
Jenis
perhiasan ini banyak di temukan di wilayah jawa terutama gelang-gelang dari batu
indah dalam jumlah besar walaupun banyak juga yang belum selesai pembuatannya.
Bahan utama untuk membuat benda ini di bor dengan gurdi kayu dan sebagai alat
abrasi (pengikis) menggunakan pasir. Selain gelang ditemukan juga alat-alat
perhisasan lainnya seperti kalung yang dibuat dari batu indah pula. Untuk
kalung ini dipergunakan juga batu-batu yang dicat atau batu-batu akik.
- Pakaian dari kulit kayu
Pada
zaman ini mereka telah dapat membuat pakaiannya dari kulit kayu yang sederhana
yang telah di perhalus. Pekerjaan membuat pakaian ini merupakan pekerjaan kaum
perempuan. Pekerjaan tersebut disertai pula berbagai larangan atau pantangan
yang harus di taati. Sebagai contoh di Kalimantan dan Sulawesi Selatan dan
beberapa tempat lainnya ditemukan alat pemukul kulit kayu. Hal ini menunjukkan
bahwa orang-orang zaman neolithikum sudah berpakaian.
- Tembikar (Periuk belanga)
Bekas-bekas
yang pertama ditemukan tentang adanya barang-barang tembikar atau periuk
belanga terdapat di lapisan teratas dari bukit-bukit kerang di Sumatra, tetapi
yang ditemukan hanya berupa pecahan-pecahan yang sangat kecil. Walaupun
bentuknya hanya berupa pecahan-pecahan kecil tetapi sudah dihiasi
gambar-gambar. Di Melolo, Sumba banyak ditemukan periuk belanga yang ternyata
berisi tulang belulang manusia.
1.1.4.
Zaman Batu Besar (Megalithikum)
Disebut
kebudayaan megalithikum sebab semua alat yang dihasilkan berupa berukuran atau
terbuat dari batu besar. Kebudayaan ini kelanjytan dari neolithikum karena
dibawa oleh bangsa deutro melayu yang datang kekepulauan Indonesia. Kebudayaan
ini berkembang bersama dengan kebudayaan logam di Indonesia yakni kebudayaan
dongson.
Megalithikum
atau zaman batu besar diperkirakan berkembang sejak zaman batu muda sampai
zaman logam. Ciri utama pada zaman megalithikum adalah manusia yang hidup pada
zamannya sudah mampu membuat bangunan-bangunan besar yang terbuat dari batu.
Banyak terdapat bangunan-bangunan besar terbuat dari batu ditemukan khususnya
yang berkaitan dengan kepercayaan mereka seperti sarkofagus, kubur batu, punden
berundak, arca, menhir, dan dolmen.
Berikut
merupakan hasil kebudayaan Megalithikum beserta ciri dan fungsinya serta tempat
ditemukannya.

a. Punden
Berundak
Punden berundak adalah bangunan pemujaan para leluhur berupa
bangunan bertingkat dengan bahan dari batu, di atasnya biasa didirikan menhir.
Bangunan ini banyak dijumpai di Kosala dan Arca Domas Banten, Cisolok Sukabumi,
serta Pugungharjo di Lampung. Dalam perkembangan selanjutnya, punden berundak
merupaan dasar pembuatan candi, keratin atau bangunan keagamaan lainnya.
b. Menhir
Menhir ialah tiang atau tugu yang terbuat dari batu yang
didiikan sebagai tanda peringatan dan melambangkan arwah nenek moyang, sehingga
menjadi benda pujaan dan ditempatkan pada suatu tempat. Fungsi menhir adalah
sebagai sarana pemujaan terhadap arwah nenek moyang, sebagai tempat
memperingati seseorang (kepala suku) yang telah meninggal, dan sebagai tempat
menampung kedatangan roh.
Menhir banyak ditemukan di Sumatra Selatan, Jawa Barat, dan
Sulawesi Tengah. Dalam upacara pemujaan, menhir juga berfungsi sebagai tempat
untuk menambahkan hewan kurban. Tempat-tempat temuan menhir di Indonesia antara
lain di : Pasemah (Sumatra Selatan), Pugungharjo (Lampung), Kosala dan Lebak
Sibedug, Leles, Karang Muara, Cisolok (Jawa Barat), Pekauman Bondowoso (Jawa
Timur), Trunyan dan Sembiran (Bali), Belu (Timor), Bada-Besoha, dan Toraja,
Sulawesi.
c. Kubur
Peti Batu
Kubur peti batu adalah peti jenazah yang terpendam di dalam
tanah yang berbentuk persegi panjang, sisi, alas, dan tutupnya terbuat dari
papan batu. Benda ini banyak ditemukan di daerah Kuningan, Jawa Barat.
d. Waruga
Waruga adalah kubur batu yang berbentuk kubus atau bulat
dengan tutup berbentuk atap rumah. Bentuk dan fungsi waruga seperti sarkofagus,
tetapi dengan penempatan posisi mayat jongkok terlipat. Waruga hanya dapat
ditemukan di Minahasa.
e. Sarkofagus
Sarkofagus atau keranda adalah peti jenazah yang bentuknya
seperti lesung, tetapi mempunyai tutup. Pembuatannya seperti lesung batu,
tetapi bentuknya seperti keranda. Salah satu tempat penemuan sarkofagus adalah
di Bali. Isinya tulang-belulang manusia, barang-barang perunggu dan besi, serta
manik-manik. Sarkofagus juga ditemukan di Bondowoso, Jawa Timur. Untuk
melindungi roh jasad yang sudah mati dari gangguan gaib, pada sarkofagus sering
dipahatkan motif kedok/topeng dengan berbagai ekspresi. Sarkofagus dapat juga
diartikan sebagai “perahu roh” untuk membawa roh berlayar ke dunia roh.
f.
Dolmen
Dolmen adalah meja batu besar dengan permukaan rata sebagai
tempat meletakkan sesaji, sebagai tempat meletakkan roh, dan menjadi tempat
duduk ketua suku agar mendapat berkat magis dari leluhurnya. Dolmen ada yang
berkakikan menhir seperti yang ditemukan di Pasemah, Sumatra Selatan, ada juga
yang digunakan sebagai kubur batu seperti yang ditemukan di Bondowoso dan di
Merawan, Jember, Jawa Timur.
g. Arca
Arca adalah bangunan yang terbuat dari batu berbentuk
binatang atau manusia yang melambangkan nenek moyang dan menjadi pujaan.
Peninggalan megalitik ini banyak ditemukan di dataran tinggi Pasemah, yaitu
pegunungan antara wilayah Palembang dan Bengkulu. Penyelidikan di Pasemah ini
dilakukan oleh Dr. Van der Hoop dan Van Heine Geldern. Di lembah Bada, Sulawesi
Tengah ditemukan juga sebuah arca yang melambangkan sosok lelaki dan perempuan.
Bangunan-bangunan megalitikum tersebut sering kali ditemukan bersama dengan
alat-alat dari zaman neolitikum dan yang paling banyak ditemukan bersamaan
alat-alat dari zaman logam.
h. Pandhusa
benda ini berupa meja batu yang kakinya tertutup rapat
berfungsi sebagai kuburan, ditemukan di Bondowoso dan Besuki Jawa Timur.
![]() |
a. Zaman
logam
Zaman
logam masuk ke Indonesia sekitar tahun 500 SM, yaitu setelah menerima pengaruh dari
kebudayaan Dongsong (Vietnam). Pada zaman ini orang sudah dapat
membuat alat-alat dari logam di samping alat-alat dari batu.
Orang sudah mengenal teknik melebur logam, mencetaknya menjadi alat-alat yang
diinginkan. Teknik pembuatan alat logam ada dua macam, yaitu dengan cetakan
batu yang disebut bivalve dan dengan cetakan tanah liat
dan lilin yang disebut a cire perdue. Periode ini juga disebut
masa perundagian karena dalam masyarakat timbul golongan undagi yang terampil
melakukan pekerjaan tangan. Zaman logam ini dibagi atas: Zaman perunggu dan
zaman besi. Namun Indonesia hanya mengalami Zaman perunggu sehingga zaman logam
juga disebut zaman perunggu.
Pada zaman
ini manusia purba sudah dapat mencampur tembaga dan timah dengan
perbandingan 3 : 10 sehingga diperoleh logam yang lebih keras. Alat-alat
perunggu pada zaman ini antara lain :
·
Kapak Corong

·
Nekara Perunggu (Moko)

·
Benjana Perunggu

·
Arca Perunggu

·
Perhiasan
Perunggu

1.
Zaman tembaga

Zaman
tembaga adalah kurun waktu dalam kehidupan manusia dengan peralatan dalam
kehidupannya banyak terbuat dari logam tembaga dengan demikian pada zaman
tembaga manusia telah mengenal teknik mengecor logam dari tembaga.
Zaman
tembaga merupakan zaman logam paling awal yang mempengaruhi kehidupan manusia
akan tetapi kehidupan zaman tembaga ini tidak pernah dialami oleh manusia pa
aksara di Indoensia. Zaman tembaga lebih banyak dialami manusia pra aksara di
kamboja, thailand, dan vietnam.
Zaman
Tembaga, atau khalkolithik(Yunani: χαλκός khalkos
"tembaga" + Yunani: λίθος lithos "batu"), dikenal juga
dengan eneolithik(Latin aeneus
"dari tembaga") adalah satu tahapan pada Zaman Perunggu dimana proses
penambahan timah terhadap tembaga yang menghasilkan perunggu belum diketahui
oleh para ahli metalurgi pada zaman itu. Zaman Tembaga didefinisikan sebagai
masa transisi antara Neolithik dan Zaman Perunggu.
Sebuah
situs arkeologi di Eropa tenggara (Serbia) memiliki bukti tertua pembuatan
tembaga pada temperatur tinggi, berasal dari 7000 tahun yang lalu. Penemuan ini
mengindikasikan suatu kemungkinan bahwa peleburan tembaga mungkin telah
ditemukan di berbagai daerah berbeda di Asia dan Eropa pada waktu yang sama
dibandingkan berkembang dari satu daerah.
2.
Zaman perunggu
Perunggu
adalah logam campuran antara timah dan tembag. Pada zaman pernngu peralatan
membantu kehidupan manusia telha dibuat dari perunggu. Pada amn perunggu
peralatan yang paling terkenal dieknal luas adalah kapak perunggu. Benda ptning
lainnya yang ditemukan pada aman perunggu adalah nekara.

3.
Zaman besi
Disebut
zaman besi karena peralatan manusia pada masa itu telah menggunakan bahan besi.
Pada zaman besi manusia telah mempunyai kepandaian mengcor gigih besi untuk
dibuat beragam peralatan guna membantu kehidupannya dnegan memiliki lkkepandaia
mengolah biji besi patut diduga bahwa kehidupan pada zaman itu tentunya lebih
baik dari zaman sebelumnya.
Zaman Besi adalah suatu tahap
perkembangan manusia di mana
penggunaan untuk pembuatan dan
sangat dominan. Penggunaan bahan baru ini, di dalam suatu masyarakat
sering kali mencakup perubahan praktik pertanian, kepercayaan agama, dan gaya
seni, walaupun hal ini tidak selalu terjadi.
Zaman Besi adalah periode utama terakhir dalam
sistem tiga zaman untuk mengklasifikasi masyarakat, yang didahului. Waktu
berlangsung dan konteks zaman ini berbeda, tergantung pada negara atau wilayah
geografis. Secara klasik, Zaman Besi dianggap dimulai pada pada
danZaman Besi dianggap berakhir dengan kebangkitan kebudayaan dan, atau
untuk kasus Eropa Utara.
Zaman Besi berhubungan dengan suatu tahap di mana
produksi besi adalah salah satu bentuk paling rumit dari. Kekerasan besi yang
tinggi, dan sumber yang melimpah,
membuat besi lebih dipilih dan murah dari pada, yang memengaruhi dipilihnya besi
sebagai yang paling umum digunakan.
Karena kerajinan besi diperkenalkan secara langsung ke dan
oleh kolonisasi Eropa, daerah-daerah tersebut tidak pernah mengalami
Zaman Besi.

Dari zaman batu, manusia masuk ke zaman logam. Pada
zaman ini, manusia tidak hanya menggunakan bahan-bahan dari batu untuk membuat
alat-alat kehidupannya, tetapi juga mempergunakan bahan dari logam, yaitu
perunggu dan besi untuk membuat alat-alat yang diperlukan.
logam, tentu diikuti dengan kemahiran teknologi yang
disebut perundagian. Logam tidak dapat dipukul-pukul atau dipecah seperti batu
untuk mendapatkan alat yang dikehendaki, tetapi harus dilebur terlebih dahulu
baru kemudian dicetak.
Hasil
terpenting dari kebudayaan logam di Indonesia di antaranya sebagai berikut:
1) Nekara
Nekara dapat juga disebut Genderang Nobat atau
Genderang Ketel karena bentuknya semacam berumbung. Terbuat dari perunggu yang
berpinggang di bagian tengahnya, dan sisi atasnya tertutup. Di daerah asalnya,
Dongson, pemilikan nekara merupakan simbol status, sehingga apabila pemiliknya
meninggal, dibuatlah nekara tiruan yang kecil yang dipakai sebagai bekal kubur.
Di Indonesia nekara hanya
dipergunakan waktu upacara-upacara saja, antara lain ditabuh untuk memanggil
roh nenek moyang, dipakai sebagai genderang perang, dan dipakai sebagai alat
memanggil hujan.
2) Kapak Corong
Kapak corong disebut juga kapak sepatu karena
seolah-olah kapak disamakan dengan sepatu dan tangkai kayunya disamakan dengan
kaki. Bentuk bagian tajamnya kapak corong tidak jauh berbeda dengan kapak batu,
hanya bagian tangkainya yang berbentuk corong. Corong tersebut dipakai untuk
tempat tangkai kayu.
3) Arca Perunggu
Arca perunggu yang berkembang pada zaman logam
memiliki bentuk bervariasi, ada yang berbentuk manusia, ada juga yang berbentuk
binatang. Pada umumnya, arca perunggu bentuknya kecil-kecil dan dilengkapi
cincin pada bagian atasnya. Adapun fungsi dari cincin tersebut sebagai alat
untuk menggantungkan arca itu sehingga tidak mustahil arca perunggu yang kecil
dipergunakan sebagai bandul kalung.
4)
Bejana Perunggu
Bejana perunggu ditemukan di tepi Danau Kerinci
Sumatra dan Madura, bentuknya seperti periuk tetapi langsing dan gepeng. Kedua
bejana yang ditemukan mempunyai hiasan yang serupa dan sangat indah berupa
gambar-gambar geometri dan pilin-pilin yang mirip huruf J.
5)
Perhiasan Perunggu
Perhiasan dari perunggu yang ditemukan sangat beragam
bentuknya, yaitu seperti kalung, gelang tangan dan kaki, bandul kalung dan
cincin.
6)
Manik-Manik
Manik-manik
yang berasal dari zaman perunggu ditemukan dalam jumlah yang besar sebagai
bekal kubur sehingga memberikan corak istimewa pada zaman perunggu.
Kebudayaan batu dan tulang
Berdasarkan peralatan kehidupan yang ditemukan yang
diduga sezaman dengan zaman neozoikum. Diperkirakan zaman ini berlangsung
600.000 tahun yang lalu.pada zaman ini pula diduga manusia mulai muncul
dibumi.pada zaman batu tua peralatan yang dibuat berasal dari batu yang masih
kasar hasilnya. Persebaran peralatan batu dari zamna palaeolithikum di
Indonesia cukup luas, tetapi tempat paling banyak ditemukan adalah diwilayah
Pacotan dan Ngandong. Itu sebabnya kebudayaan zaman batu Tua di Indonesai dapat
dibedakan atas kebudayaan Pacitan dan kebudayaan Ngandong.
Kebudayaan Ngandong
Kebudayaan
Ngandong berkembang di daerah Ngandong dan juga Sidorejo,
dekat Ngawi. Di daerah ini banyak
ditemukan alat-alat dari batu dan juga alat-alat dari
tulang. Alat-alat dari tulang ini berasal dari tulang
binatang dan tanduk rusa
yang diperkirakan digunakan sebagai
penusuk atau belati. Selain itu,
ditemukan juga alat-alat seperti tombak yang
bergerigi. Di Sangiran juga ditemukan alat-alat dari
batu, bentuknya indah seperti kalsedon. Alat- alat ini sering disebut dengan flakke.
Sebaran artefak dan
peralatan paleolitik cukup luas sejak dari
daerah-daerah di Sumatra, Kalimantan, Sulawesi, Bali, Nusa Tenggara
Barat (NTB), Nusa Tenggara Timur (NTT), dan Halmahera.
Di daerah sekitar Ngandong dan
Sidorejo dekat Madiun, Jawa Timur, ditemukan peralatan-peralatan, seperti :
1. Kapak genggam.
2. Flake merupakan alat-alat serpih
atau alat-alat kecil.
3. Alat-alat dari tulang, seperti alat
penusuk atau belati, ujung tombak bergegaji pada dua sisi, alat pengorek ubi
dan keladi, dan mata tombak dari duri ikan.
4. Alat-alat dari tanduk rusa yang
ujungnnya sudah diruncingkan.
5. Alat-alat yang terbuat dari batu
indah seperti chalcedon.
Alat-alat
dari Ngandong juga ditemukan didaerah lain, seperti Sangiran, Sragen, Jawa
Tengah dan Cabbenge di Sulawesi Selatan. Menurut para ahli alat-alat yang
ditemukan di Ngandong, berasal dari lapisan Ngandong atau pleistosen atas, tetapi pada
lapisan tersebut ditemukan fosil Homo
Wajakensis. Sementara pada lapisan yang sama, tepatnya didaerah
Ngadirejo, Sambung Macan, Sragen, Jawa Tengah, selain ditemukan kapak genggam,
ditemukan pula tulang binatang dan batok tengkorak Homo Soloensis
Dengan
demikian atas dasar contoh penemuan tersebut, para ahli mengambil kesimpulan
bahwa pendukung utama kebudayaan Ngandong adalah Homo Soloensis danHomo
Wajakensis. Karena kedua fosil itu berasal dari lapisan yang sama dengan
ditemukannya alat-alat dari Ngandong yaitu pleistosen atas.
Kebudayaan Pacitan
Pada
tahun 1935 arkeolog G.H.R. von
Koeningswald menemukan beberapa hasil teknologi zaman batu di wilayah Punung ,Pacitan. Alat yang
ditemukan berupa kapak genggam serta alat serpih yang masih kasar. Kebudayaan
Pacitan juga di kenal dengan kapak perimbas. Peralatan dari batu yang di
temukan itu masih kasar dan bentuknya agak runcing. (seperti kapak pada zaman
sekarang) tergantung fungsinya. Bagian yang tajah hanya ada satu sisi saja.
Alat tersebut belum bertangkai sehingga digunakan dengan cara di genggam dan
disebut kapak gengggam .
Diduga
kapak genggam ini digunakan untuk membunuh binatang dengan cara menusuknya.
Namun , ada juga digunakan untuk mengorek-ngorek tanah guna mencari
umbi-umbian.
Kebudayaan Pacitan merupakan karya dari
manusia pithecanthropus dan keturunannya. Menurut H.R Von Heekeren , R.P
Soejono dan Basuki yang melakukan [enelitian tahun 1953-1954, kebudayaan
pacitan merupakan kebudayaan tertua di Indonesia.
Ciri-ciri
kapak primbas antara lain:
-
Berbentuk kasar
-
Massif
-
Pembuatannya secara kasar
-
Kulit batunya masih melekat pada permukaan
alat
-
Teknik pembuatannya menggunakan teknik pembenturan
batu-batu dan penggunaan pecahan-pecahannya yang cocok untuk alat yang di
kehendakai.
Kebudayaan Pacitan dapat di goongkan menjadi
dua yaitu tradisi batu inti dan tradisi batu serpih .
Contoh
alat-alat kebudayaan pacitan selain kapak primbas :
-
Kapak Penetak (chopper)
Kapak penentak memiliki bentuk yang hamper
sama dengan kapak primbas. Bentuk kapak penetak lebih besar dari kapak primbas.
Cara pembuatannya masih kasar. Di gunakan untuk menebang pohon, membelah kayu,
dan memotong benda lainnya.
-
Kapak Genggam
Kapak yang bentuknya hamper sama dengan
kapak primbas dan penetak,namun bentuknya lebih kecil dan sederhana, dan belum
di asah. Cara pemakaian kapak genggam adalah di genggam pada ujungnya yang
lebih ramping.
-
Pahat genggam
Bentuknya lebih kecil dari kapak genggam.
Pahat genggam berfungsiuntuk menggemburkan tanah dan mencari umbi-umbian untuk
di konsumsi.
-
Alat serpih (flake)
Bentuknya sangat sedrhana, berukuran 10-
20 cm, di gunakan sebagai pisau,gurdi,dan penusuk untuk mengupas,memotong, dan
menggali
tanah.
Pola Kehidupan di Pantai dan Gua
Kebudayaan Kjokkenmoddinger
![]() |
Kjokkenmoddinger adalah sampah dapur dari zaman
mesolitikum yang ditemukan di sepanjang pantai timur Pulau Sumatera. Hal ini
diteliti oleh Dr. P. V. van Stein Callenfels pada tahun 1925 dan menurut
penelitian yang dilakukannya, kehidupan manusia pada saat itu bergantung dari
hasil menangkap siput dan kerang karena ditemukan sampah kedua hewan tersebut
setinggi 7 meter. Sampah dengan ketinggian tersebut kemungkinan telah mengalami
proses pembentukan cukup lama, yaitu mencapai ratusan bahkan ribuan tahun. Di
antara tumpukan sampah tersebut juga ditemukan batu penggiling beserta
landasannya (pipisan) yang digunakan untuk menghaluskan cat merah.Cat tersebut
diperkirakan digunakan dalam acara keagamaan atau ilmu sihir. Di tempat itu
juga ditemukan banyak benda-benda kebudayaan seperti kapak genggam yang disebutpebble atau kapak genggam
Sumatera (Sumeteralith) sesuai
dengan tempat penemuannya. Kapak tersebut terbuat dari batu kali yang dibelah
dua dan teksturnya masih kasar. Kapak lain yang ditemukan pada zaman ini
adalah bache courte (kapak
pendek) yang berbentuk setengah lingkaran seperti kapak genggam atau chopper. Berdasaran pecahan tengkorak
dan gigi yang ditemukan padaKjokkenmoddinger,
diperkirakan bahwa manusia yang hidup pada zaman mesolitikum adalah bangsa
Papua Melanesoide.(nenek moyang suku Irian dan Melanesoid).
Kebudayaan
Abris Sous Roche

Abris
sous roche adalah
goa menyerupai ceruk batu karang yang digunakan manusia sebagai tempat tinggal.
Penelitian mengenai kebudayaan Abris
sous roche ini juga dilakukan oleh van Stein Callenfels pada tahun
1928-1931 di Goa Lawu dekat Sampung, Ponorogo (Madiun). Alat-alat yang
ditemukan lebih banyak terbuat dari tulang sehingga disebut sebagai Sampung Bone Culture.Di daerah Besuki
(Jawa Timur), van Heekeren juga menemukan kapak Sumatera dan kapak pendek.Abris sous roche juga ditemukan
pada daerah Timor dan Rote oleh Alfred Buhler yang menemukan flakes culture dari kalsedon
bertangkai dan hal ini diduga merupakan peninggalan bangsa Papua Melanesoide.
Hasil kebudayaanAbris sous roche juga
ditemukan di Lamancong (Sulawesi Selatan) yang biasa disebut kebudayaan Toala.
Kebudayaan Toala ditemukan pada suatu goa yang disebut Goa Leang PattaE dan
inti dari kebudayaan ini adalah flakes dan pebble. Selain Toala, para ahli juga
menemukan kebudayaan Bacson-Hoabinh dan
Bandung di Indonesia. Bacson-Hoabinh diperkirakan
merupakan pusat budaya prasejarah Indonesia dan terdiri dari dua macam
kebudayaan, yaitu kebudayaapebble (alat-alat
tulang yang datang dari jalan barat) dan kebudayaan flakes(datang melalui jalan timur).
Sementara itu, penelitian kebudayaan Bandung dilakukan oleh van Koenigswald di
daerah Padalarang, Bandung Utara, Cicalengka, BanjarabSoreang, dan sebelah
barat Cililin.Kebudayaan yang ditemukan berupaflakes yang disebut microlith (batu kecil), pecahan tembikar, dan benda-benda
perunggu.

Bagi manusia, Api merupakan faktor penting
dalam kehidupan. Sebelum di temukan listrik aktivitas manusia sehari-hari tidak
terlepas dari api. Berdasarkan data arkeologi , penemuan api kira-kira terjadi
pada 40.000 tahun yang lalu. Penemuan api di duga terjadi pada periode manusia
HOMOERECTUS .
Teknologi
api di gunakan sebagai manusia untuk berbagai hal. Penemuan api juga
memperkenalkan manusia pada teknologi memasak makanan, yaitu memasak dengan
cara membakar dan menggunakan bumbu dengan ramuan tertentu. Manusia menggunakan
api sebagai senjata sebagai menghalau binatang buas yang menyerangnya. Api di
gunakan juga sebagai penerangan. Dapat juga di gunakan sebagai pembuka lahan
dengan cara (slah and burn).
Adapun cara membuat api
pada zaman Dahulu yaitu :

A. Teknik Benturan/Gesekan
Sebuah
batu di benturkan/di gesekan dengan batuan keras lainnya akan menghasilkan
percikan api.

B. Teknik
Gosokan
Fenomena
pembuatan api yang kedua diduga akibat ketidaksengajaan mereka ketika
memperbaiki alat kayunya sehingga keluar bunga api akibat panas.

Kehidupan batu pada zaman
manusia purba mencapai puncaknya pada zaman Batu Muda atau Neolithikum. Pada
zaman inilah sebuah revolusi terjadi. Yaitu terjadinya pola hidup manusia. Pola
hidup yang bergantung pada alam (Food gathering) di gantikan oleh Pola hidup
yang memproduksi sendiri bahan makanan (food producing). Hal ini terjadi karena
perubahan jenispendukung kebudayaan tersebut.
Hal ini bisa di lihat dengan peralatan pada
zaman Batu Muda(Neolithikum) lebih maju dari pada peralatan pada zaman Batu Tua
(Palaeolithikum) yang di mulai kira-kira bersamaan dengan berkembangnya
kemahiran mengupam (mengasah) dan di
kenalnya pembuatan gerabah.
Alat-alat yang pada umumnya
di upam adalah kapak dan kapak batu dan di beberapa tempat mengupam di gunakan
pada mata panah dan mata tombak. Pada dasarnya hasil teknologi pada zaman batu
muda terdiri dari 2 yaitu.

A.
Kebudayaan Kapak
Persegi
Nama kapak persegi berasal
dari VON HEINE GELDERN berdasarkan penampang dari alat-alatnya yang berbentuk
persegi panjang atau trapezium. Kapak ini berbentuk persegi panjang dengan
bagian pangkal yang tidak tajamuntuk mengikat tangkai, sedangkan pada bagian
lainnya (ujung) di beri tajaman dengan cara di asah. Selain berfungsi sebagai
kapak, kapak persegi di gunakan untuk
kebutuhan lainnya tergantung ukurannya. Kapak persegi yang ukurannya kecil di
gunakan untuk memotong kayu sedangkan kapak persegi yang ukurannya besar di
gunakan untukmencangkul. Terbuat dari bahan batu api dan batu chalsedon. Di
Indonesia di temukan di Sumatra,Bali,Nusa Tenggara Timur,Maluku,Sulawesi,dan
Kalimantan. Sedangkan di luar Indonesia di temukan di
Malaysia,Thailand,Vietnam,Khemer,Tiongkok,Jepang,Taiwan,dan Polinesia. Pada
umumnya kapak persegi berbentuk memanjang dengan penampang lintang persegi.

B.
Kebudayaan Kapak
Lonjong
Disebut kapak lonjong karena
bentuk penampangnya berbentuk lonjong dan bentuk kapaknya sendiri bulat telur.
Seluruh permukaan alat tersebut telah di gosok halus. Sisi pangkal agak runcing
dan diikat pada tangkai. Sisi depan diasah sampai tajam. Digunakan untuk
memotong kayu dan binatang buruan.Kebudayaan kapak lonjong di sebut neolithikum
Papua karena banyak di temukan di Papua. Wilayah persebaran meliputi
Sulawesi,Flores,Tanimbar,Maluku, dan Papua.
C.
Perkembangan Zaman
Logam
Mengakhiri kehidupan zaman
batu maka muncullah kehidupan pada zaman Logam. Selain di sebut sebagai zaman
Logam ada juga yang menyebut dengan Zaman Perundagian karena pada zaman ini
muncul para pengrajin logam. Zaman Logam yang di alami manusia purba yang hidup
di Indonesia terdiri atas zaman perunggu dan zaman besi.
1.
Zaman Perunggu
Pada saat itu, manusia telah
mengenal logam campuran tembaga dan timah yang di sebut perunggu. Adapun
berbagai alat yang di buat pada zaman Perunggu antara lain:

A.
Nekara
Nekara
berbentuk semacam berumbung yang terbuat dari perunggu yang berpinggang di
bagian tengahnya dan sisi atasnya tertutup. Bagi masyarakat pra aksara, nekara
di anggap sesuatu yang suci. Di Indonesia nekara hanya di gunakan waktu upacara
penting saja , misalnya : Memanggil arwar/roh nenek moyang, di pakai sebagai
genderang perang, dan di pakai sebagai alat pemanggil hujan. Penemuan nekara di
Indonesia antara lain: Jawa,Bali,Sumbawa,Sangean,Pulau Rote,Pulau Kei , Dan
Pulau selayar.

B.
Moko
Moko
adalah nekara yang berukuran kecil. Moko diduga banyak di bawa pedagang bugis
dari daerah Gresik. Fungsi benda pusaka / mas kawin.

C.
Kapak perunggu
Sexara
tipoogis, kapak perunggu dapat di bagi dalam dua golongan, yaitu kapak
corong(kapak sepatu) dan kapak upacara.kapak perunggu memiliki macam-macam
bentuk dan ukuran. Dilihat dari penggunaannya, kapak perunggu dapat berfungsi 2
macam, yaitu sebagai alat upacara dan Benda pusaka atau sebagai perkakas/alat
bekerja.

D.
Bejana Perunggu
Bejana
perunggu berbentuk mirip keranjang yang diikatkan di badan para pencari ikan
sebagai tempat ikan hasil tangkapan. Bejana perunggu bentuk badannya ada yang
polos dan ada pula yang di hias dengan pola huruf. Banyak di temukan di Madura
dan Sumatra.

E.
Perhiasan Perunggu
Banyak
jenis perhiasan dari perunggu, misalnya gelang tangan, gelang kaki,cincin,serta
kalung dengan bandulnya.

F.
Candrasa
Candrasa
merupakan kapak corong yang salah satu sisinya ada yang panjang dan bentuknya
sangat indah serta di lengkapi dengan hiasan. Fungsi untuk tanda kebesaran
kepala suku dan alat upacara adat.

G.
Kapak upacara
Kapak
upacar ini berwarna hitam kecokelatan,memiliki hiasan yang berbeda pada kedua
sisinya. Pada sisi pertama terdapat hewan berkaki 4 dan hiasan flora.ujung pegangan
memiliki hiasan motif garis bergerigi,sedangkan pada sisi lainya terdapat
hiasan topeng.

H.
Arca perunggu
Arca
perunggu ada yang berbentuk orang dan ada pula yng berbentuk binatang.
Adapun
teknik mencetak terdiri dari 2 yaitu :
-Teknik Bivalve (setangkup)

Teknik
cetak setangkup menggunakan dua cetakan yang dapat di tangkupkan.Cetakan di
beri lubang pada bagian atas, dari lubang itu di tuangkan logam cair.bila sudah
dingin maka cetakan dibuka dan selesailah pekerjaannya.
-Teknik
a Cire Perdue( cetakan lilin)

Teknik
cetakan lilin mempergunakan bentuk benda yang terlebih dahulu terbuat dari
lilin yang berisi tanah liat sebagai inti.Lilin dibentuk sesuai dengan
keinginan.Setelah lengkap lilin di bungkus dengan tanah liat yang lunak, agar
tanah liat mengikuti bentuk lilin tersebut.Bagian atas dan bawah di beri
lubang. Tuangkan dari atas perunggu cair dan dari bawah akan mengalir lilin
yang meleleh. Bila dingin maka di cetak di pecah dan selesai.
2.
Zaman Besi
Zaman besi merupakan zaman
terakir dari masa Praaksara.Pada zaman Besi,manusia telah mampu melebur besi
dari bijihnya dan mencetaknya sesuai kebutuhan.benda besi sering di temukan
sebagai bekal kubur.benda besi sedikit di temukan karena sebagian sudah
berkarat sehingga hancur. Alat yang di temukan antara lain :
Kapak,sabit,pisau,pedang,dan cangkul.

Menurut
Kostof, arsitektur telah mulai ada pada saat manusia mampu mengolah lingkungan
hidupnya. Pembuatan tanda-tanda di alam yang membentang tak terhingga itu untuk
membedakan dengan wilayah lainnya. Tindakan untuk membuat tanda pada suatu
tempat itu dapat dikatakan sebagai bentuk awal dari arsitektur. Pada saat itu
manusia sudah mulai merancang sebuat tempat.
Bentuk
arsitektur pada masa pra-aksara dapat dilihat dari tempat hunian manusia pada
saat itu. Mungkin kita sulit membayangkan atau menyimpulkan bentuk rumah dan
bangunan yang berkembang pada masa pra-aksara saat itu.
Dari pola mata pencaharian manusia
yang sudah mengenal berburu dan melakukan pertanian sederhana dengan ladang
berpindah memungkinkan adanya pola pemukiman yang telah menetap.
Lukisan Tangan zaman Pra aksara
|
Gambar-gambar
dinding goa tidak hanya mencerminkan kehidupan sehari-hari, tetapi juga
kehidupan spiritual. Cap-cap tangan dan lukisan di goa yang banyak ditemukan di
Papua, Maluku, dan Sulawesi Selatan dikaitkan dengan ritual penghormatan atau
pemujaan nenek moyang, kesuburan, dan inisiasi.
Gambar
dinding yang tertera pada goa-goa mengambarkan pada jenis binatang yang diburu
atau binatang yang digunakan untuk membantu dalam perburuan. Anjing adalah
binatang yang digunakan oleh manusia pra-aksara untuk berburu binatang.
Bentuk
pola hunian dengan menggunakan penadah angin, menghasilkan pola menetap pada
manusia masa itu. Pola hunian itu sampai saat ini masih digunakan oleh Suku
Bangsa Punan yang tersebar di Kalimantan. Bentuk hunian itu merupakan bagian
bentuk awal arsitektur di luar tempat hunian di goa.
Secara
sederhana penadah angin merupakan suatu konsep tata ruangan yang memberikan
secara implisit memberikan batas ruang. Pada kehidupan dengan masyarakat
berburu yang masih sangat tergantung pada alam, mereka lebih mengikut ritme dan
bentuk geografis alam. Dengan demikian konsep ruang mereka masih kurang
bersifat geometris teratur.
Pola
garis lengkung tak teratur seperti aliran sungai, dan pola spiral seperti route
yang ditempuh mungkin adalah citra pola ruang utama mereka. Ruang demikian
belum mengutamakan arah utama. Secara sederhana dapatlah kita lihat bahwa, pada
masa praaksara konsep tata ruang, atau yang saat ini kita kenal dengan
arsitektur itu sudah mereka kenal.